Motormatic Diary

Perjalanan darat menyusuri jalan sepanjang 511 Km yang tak selalu mulus ini mungkin merupakan siksaan, tapi dengan menikmatinya mungkin akan jadi menyenangkan, dan ternyata memang banyak yang kita bisa nikmati dari Kalimantan Selatan menuju ujung Kalimantan Tengah. Karena semua tergantung kita mau jadi seperti apa rasanya suatu perjalanan tergantung bagaimana kita menyikapinya, betul kah?
Tugu di Kota Rantau
Berangkat setelah sahur sekitar pukul 5.30 menyusuri jalan Banjarmasin yang sepi membuat lebih leluasa untuk membetot gak sekencang-kencangnya, namun top speed matic saya hanya sekitar 90/hour jadi segitulah paling cepat. Jaket yang tebal menolong saya dari resiko kedinginan, tapi tidak begitu dengan kaca helm saya yang gelap sehingga terlalu beresiko untuk menutup helm, untuk melindungi mata saya menggunakan kacamata.
Sebelm kota Rantau saya singgah sebentar di sebuah Langgar(Musholla) untuk melaksanakan Sholat Subuh, saya sengaja mencari yang sudah selesai sholat berjamaahnya sehingga tidak mengganggu yang kekhusuan mereka, setelah selesai saya kembali melanjutkan perjalanan dan di ufuk timur langit mulai ada semburat cahaya, walau masih belum ada sang surya yang muncul.
Sunrise
Memasuki Kabupaten Hulu Sungai Selatan Mentari pagi mulai menampakan wujudnya, saya mampir sbentar di daerah persawahan untuk menikmati sunrise yang jarang saya temui (Jarang bangun pagi sih..hehe). Tanda-tanda kehidupan pun mulai tampak, ada juga yang berangkat sekolah, tampaknya sekolahnya jauh sehingga harus berangkat pagi-pagi agar tidak terlambat dating ke sekolahnya.
Mendekati perbatasan dengan Kabupaten Hulu Sungai Tengah tiba-tiba motor saya tersendat-sendat dan mati, ternyata minyaknya habis dan saya terlalu asyik mengendarainya sehingga lupa melihat jarum minyaknya yang sudah melewati merah. Saya bingung karena sepagi ini kebanyakannya yang jual minyak masih tutp sedangkan SPBU masih jauh, selagi saya berfikir sambil mendorong motor untungnya ada seorang nenek yang menyapa saya.
“Habis minyak kah?”
“Inggih, di mana ada orang bajual minyak lah?banyak yang tutup pinanya masih”
“Di muka tu ada ae, hakun ae di katuk urangnya”
“iyakah ni?yang mana rumahnya?”
“sini nah ku katuk akan urangnya”
Terimakasih nenek yang baik hati, setelah di panggil yang jual segera keluar tampanya habis ketiduran juga, lalu saya menunggu sebentar dia menyusun minyaknya di rak jualan minyaknya. Saya mengisi satu liter seharga 5.500, masih normal sama dengan harga di Banjarmasin. Tak lupa mengucapkan terma kasih kepada Nenek tadi saya kembali melanjutkan perjalanan.
Memang tipikal masyarakat kalsel suka menolong , hal ini dapat dilihat kalau ada yang sdang kecelakaan pasti banyak yang mengelilingi ingin menolong, walau tak sedikit juga yang Cuma menjadikan tontonan. Sering korban kekurangan udara karena terlalu rapat orang yang mengelilingi.
Jalanan aspal dari Pantai hambawang menuju kota Amuntai sekarang sudah banyak yang diperbaiki sehingga perjalanan menjadi lancar, ada jalan yang asalnya dibangun di atas rawa, dan pemandangan di kiri-kanan jalanpun seluas mata memandang hanyalah tanaman eceng gondok, di sebagian tempat telah dijadikan persawahan oleh penduduk. Ketika melalui sekitar jalan ini jga kaca mata saya jatuh, namun karena malas untuk mencari-cari kembali jadi saya ikhlaskan saja, mudah-mudahan yang menemukan adalah orang-orang yang membutuhkan..hee
Tugu Perbatasan Kalsel-teng
Setelah melewati kabupaten Hulu Sungai Utara dan Tabalong maka berakhirlah Provinsi Kalimantan Selatan, dan perbatasannya terletak di Desa Pasar Panas, Tamiang Layang.  Masuk Wilayah Kabupaten Barito Timur di bangun sebuah tugu Perbatasan dengan patung Burung Enggang di puncaknya, burung yang semakin langka ini merupakan cirri khas Pulau Kalimantan, hampir setiap provinsi menggunakannya sebagai icon. Selain tugu ada juga sebuah komplek replica rumah adat yaitu Rumah Betang yang berdampingan dengan Rumah Banjar yang mencerminkan kerukunan kedua provinsi yang bertetangga ini.
Di Kabupaten Barito timur hanya ada dua SPBU, yang pertama ada di sebelum kota  Tamiang Layang dan yang kedua ada di Kota Ampah, saya mengisi di SBPU yang ada di kota Ampah, namun di sini saya harus bersabar selama hampir satu jam karena panjangnya antrian, sambil mengantri saya memperhatikan tingkah laku orang-orang di sini, tampaknya ada saja yang jauh-jauh dari kota lain untuk membeli minyak di sini, dan kebanyakan mereka memakai motor dengan kapasitas tangki yang cukup besar yang nantinya hasil membeli di sini akan di jual lagi, bahkan ketika hampir sampai pengisian mereka menyedot semua isi bensin yang tersisa di tangki, dan masih saja kebiasaan menggoyangkan motor ketika mengisi bensin mereka lakukan, emang ngaruh apa?
Antrian di SPBU
Bahkan ada saja yang coba-coba untuk menyerobot antrian dengan langsung parker di depan, api tampaknya masih belum berani untuk masuk barisan. Adanya larangan menjual minyak untuk pengecer membuat mereka semakin cerdas, bahkan dulu banyak vespa yang tidak bisa jalan dan hanya di dorong serta tangkinya diperbesar. Wajar saja ketika saya menbeli satu liter di pengecer harganya Rp. 7.500 satu liternya. Ketika saya membeli minyak yang punya warung sedang ngobrol dengan temannya yang sedang enakenakan makan permen lollipop dan kembalian sayapun yang Rp. 500 nya sudah di konveksikan ke permen.
Istirahat Dulu
Memang perbedaan yang dapat dilihat dari kedua provinsi yang bertetangga ini adalah ketima masih di Kalimantan Selatan di sepanjang jalan banyak Musholla atau yang disebut Langgar, bahkan banyak juga yang masih minta sumbangan di pinggir jalan untuk biaya pembangunan dan ada yang sudah bertahun-tahun kok tidak selesai-selasai juga. Ketika memasuki Provinsi Kalimantan Tengah yang banyak di pinggir jalan adalah Gereja.
Biasanya kota Ampah adalah tempat persinggahan atau tempat istirahat dalam perjalanan menuju kota-kota di Kalimantan Tengah, baik itu bus maupun mobil pribadi biasanya istirahat di rumah makan yang banyak di sini.  Namun karena ini sedang Bulan Ramadhan jadi banyak yang tutup sehingga saya memutusan untuk istrahat di tempat yang banyak pohon di pingir jalan, akhirnya saya menemikan kursi-kursi yang tak terpakai dan tidak ada oang sehingga saya bisa rebahan untuk meluruskan punggung yang sudah mulai pegal.

Jembatan setelah Kandui

Ada beberapa kota kecil lagi yang dilalui sebelum Kota Muara Teweh, seperti  Patas dan Kandui. Jarak antar kota bisa dilihat di atas prasasti yang ada di pinggir jalan dengan jarak setia 1 km.  Jalan di sini mlai banyak yang rusak sehingga harus hati ketika mengendara, seperti ada lobang besar di jalan ketika jalan menurun sehinga membahayakan pengendara khususnya di malam hari.

Salah Satu bundaran di Muara Teweh
Sekitar 23 KM mendekati Kota Muara Teweh indicator minyak saya sudah menunjukan bahwa bensin sudah hampir habis, dan memastikan dengan melihat ke dalam tangki seberapa jauh ini akan bertahan. Beberapa kilometer di jalani tak ada juga tanda-tanda dekat kota bahkan rumah makin jarang, dari pada harus berjalan kaki dengan mendorong motor menaiki tanjakan lebig baik saya membeli satu litar, di sebuah rumah saya berhenti dan membeli minyak dan ternyata satu litarnya seharga Rp. 10.000, Gila…di palak anak kecil nih, kaya jduk di blog Trinity, yang lebh membuat saya dongkol ternyata tak sampai 2 KM saya sudah bisa menemukan SPBU, hufth…
Mencari-cari mesjid di Kota Muara Teweh  di sepanjang jalan yang saya lewati ko tidak ada, akhirnya saya ingat bahwa agak keluar kota ada sebuah mesjid yang bisa dijadikan tempat untuk istirahat sekaligus menunaikan ibadah sholat zuhur.
Setelah dirasa cukup saya segera melanjutkan perjalanan, ketika mau berangat ternyata sarung tangan yang saya letakan di saku motor saya hilang sebelah, menambah satu lagi barang raib setelah kacamata dalam perjalanan ini.
Jalan Muara Teweh-Puruk Cahu
Ladang yang dibakar
 Sebenarnya ada sebuah air terjun yang akan saya lalui, namun karena kecapekan dan untuk menuju air terjun harus masuh sedikt sehinga saya skip saja untuk kunjungan berikutnya. Jalan yang menghubungkan antara Muara Teweh dan Puruk Cahu masih banyak yang rusak dan belum di aspal, namun dari prosentase lebih banyak jalan beraspal di daerah Barito Utara dari pada setelah Memasuki kabupaten Murung Raya, namun di beberapa ruas masih diadakan pemadatan jalan dan mudah-mudahan segera di aspal dengan aspal yang betul-betul kuat, tidak seperti dulu baru beberapa bulan sudah rusak, karena lebih banyak campuran pasir dan spalnya Cuma sedikit. Di tambah lagi dilalui mobil alat berat yang melebihi batas ketahanan jalan.
Ternyata waktu asih menunjukan pukul 3 sehingga saya menjalankan motor matic saya dengan prlahan, bahkan di tempat yang menurut saya bagus saya berhenti untuk menikmatnya, bahkan bernarsis-narsis ria. Namun ternyata masih ada masyarakan yang membakar ladangnya, inilah yang membuat Langit kota Puruk Cahu tidak lagi biru kaena muli tertutup oleh kabut asap.
Tepat pukul 4 sore akhirnya saya memasuki kota Puruk Cahu, tepat seharian saya berada di atas sepeda motor. Datang ke rumah saya langsung beristirahat dan 2 hari baru hilang pegal-pegal di badan saya.

4 komentar

dofont said...

hohoo kangen sama cakapnya urang banjar, dinginnya jalan dari kalua ke tamiang, kabut, takut diseruduk babi di tamiang...
sepinya tuh jalan bikin pengen ngebut...huhuhuuu
dan antrinya SPBU disana...hahahaha
kapan nak kesana lagih yah?hemmmm

iya jalannya sampai ampah jalanya masih lurus,tapi klo dari ampah ke atas udah jarang ada yg lurus,klu gak nikung pasti naik turun...

biaya tranportnya berapa bro???

@izol:nah am kada ingat mahitung jua samalam..hee